Sitor
Situmorang
Sitor Situmorang dilahirkan dengan nama Raja Usu dengan
marga Situmoran dari Suku Batak Toba. Dia lahir di Harianboho, Tapanuli Utara,
Sumatera Utara, 2 Oktober 1923. Sitor Situmorang dikenal sebagai wartawan,
sastrawan, dan penyair Indonesia.
Karir kepenyairannya dikatakan oleh A. Teeuw bersinar
setelah meninggalnya Chairil Anwar. Dia memulai kariernya sebagai wartawan
harian Suara Nasional dan harian Waspada. Dia juga pernah menjadi pegawai
Jawatan Kebudayaan Departemen P & K, dosen Akademi Teater Nasional
Indonesia, anggota Dewan Nasional, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara mewakili kalangan seniman, anggota Badan Pertimbangan Ilmu
Pengetahuan, dan Ketua Lembaga Kebudayaan nasional. Pada masa pemerintahan Orde
Baru, Sitor pernah dipenjara sebagai tahanan politik di Jakarta mulai tahun
1967-1974.
Karya-karyanya antara lain Surat Kertas Hijau (kumpulan
puisi (1954), Jalan Mutiara (drama (1954), Dalam Sajak (kumpulan
puisi (1955), Wajah Tak Bernama (kumpulan puisi (1956),Rapar
Anak Jalang (1955), Zaman Baru (kumpulan puisi
(1962),Pangeran (kumpulan cerpen (1963), Sastra
Revolusioner(kumpulan esai (1965), Dinding Waktu (kumpulan
puisi (1976),Sitor Situmorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba(otobiografi
(1981), Danau Toba (kumpulan cerpen (1981), Angin
Danau (kumpulan puisi (1982), Bunga di Atas Batu (kumpulan
puisi (1989), Toba na Sae (1993), Guru Somalaing dan
Modigliani Utusan Raja Rom (sejarah lokal (1993), Rindu Kelana (kumpulan
puisi (1994), dan Peta Perjalanan (kumpulan puisi) yang
mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976.
Abdul Hadi
Wiji Muthari
Prof. Dr. Abdul Hadi Wiji Muthari atau yang lebih dikenal
dengan nama Abdul Hadi WM, lahir di Sumenep, 24 Juni 1946 adalah seorang
sastrawan budayawan, dan ahli filsafat Indonesia. Dia dikenal karena
karya-karyanya yang bercorak sufistik dan penelitan-penetiannya dalam bidan
kesusastraan Malyu di Nusantara, serta pandangan-pandangannya tentang Islma dan
Pluralisme.
Para pengamat kesenian menyebutnya sebagai pencipta puisi
Sufis di era 70-an. Karena karya-karyanya banyak berisi tentang kesepian,
kematian, dan waktu. Karena itu, dia sering dibandingkan dengan sahabatnya,
yaitu Taufik Ismail, yang juga kerap menulis puisi religi.
Karya-karnya antara lain At Last We Meet Again,
Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman),
Laut belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret panjang
Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luar Prabhang
dan Pembawa Matahari, dan lain-lain.
Biografi Singkat WS. Rendra
Rendra, nama yang sudah tidak asing
lagi dikalangan penyair Indonesia masa kini. Namanya memang seakan abadi dalam
balutan karya-karyanya yang anti-mainstream kala itu. Sekarang, mari kita
sedikit lebih mengenal Rendra dan karya-karyanya melalui biografi singkat yang
kami sadur dari buku Mempertimbangkan Tradisi yang merupakan kumpulan opini dari Rendra di media massa.
Rendra, lahir 7 November 1935 di Solo,
Jawa Tengah. Pernah kuliah di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan
Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (tidak tamat), kemudian memperdalam
pengetahuan di American Academy Of Dramatical Arts, AS (1964-67). Sepulang dari
Amerika Serikat membentuk Bengkel Teater di Yogyakarta dan sekaligus menjadi
pimpinannya. Tahun 1954 ia mengikuti Seminar Sastra di Universitas Harvard, AS,
dan tahun 1971 dan 1979 mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam,
Belanda.
Dramanya, Orang-orang di Tikungan Jalan, memperoleh Hadiah Pertama
Sayembara Drama Bagian Kesenian Kementerian P dan K Yogyakarta tahun 1954.
Tahun 1956 cerpennya mendapat hadiah dari majalah Kisah. Tahun 1957 memperoleh
Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk kumpulan sajaknya, Ballada Orang-orang Tercinta (1957). Tahun 1968
sajak-sajaknya memperoleh hadiah dari majalah Horison,Dan tahun 1976 mendapat Hadiah Pertama dari
Yayasan Buku Utama Departemen P dan K untuk bukunya, Tentang Bermain Drama (1976). Tahun 1970 Rendra
menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI dan tahun 1975 memperoleh Hadiah
Akademi Jakarta.
Karya-karyanya yang lain: Empat Kumpulan Sajak (1961, 1978), Ia Sudah Bertualang (1963), Blue Untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), dan Potret Pembangungan dalam Puisi (1980). Sajak-sajaknya
banyak diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang,
Rusia, dan lain-lain. Di samping itu, Rendra juga banyak menerjemahkan drama ke
bahasa Indonesia, antara lain karya Sofokles: Oidipus Sang Raja (1976), Oidipus di Kolonus (1976), dan Antigone (1976).
Nantikan
beberapa karya Rendra yang membuatnya namanya tersohor di sastranesia.com.
Abdoel Moeis
|
|
BIOGRAFI:
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Pekerjaan
|
|
Kebangsaan
|
|
Karyaterkenal
|
Abdoel Moeis adalah seorang sastrawan,
politikus, dan wartawan Indonesia. Dia merupakan
pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili
organisasi tersebut. Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang
pertama oleh Presiden RI,Soekarno, pada 30 Agustus 1959.
Latar belakang
Abdul Muis adalah seorang Minangkabau, putra Datuk
Tumangguang Sutan Sulaiman. Ayahnya merupakan seorang demang yang keras
menentang kebijakan Belanda di dataran tinggi Agam. Selesai
dari ELS, Abdul Muis
melanjutkan pendidikannya ke Stovia (sekolah
kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta.
Kehidupan
Abdul Muis memulai kariernya sebagai klerk di
Departemen Onderwijs en Eredienst atas bantuan Mr. Abendanon
yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan. Namun pengangkatannya itu
tidak disukai oleh karyawan Belanda lainnya. Setelah dua setengah tahun bekerja
di departemen itu, ia keluar dan menjadi wartawan di Bandung. Pada tahun 1905,
ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Kemudian ia
sempat menjadi mantri lumbung, dan kembali menjadi wartawan pada surat kabar
Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus
Salim.
Pada tahun 1913 ia bergabung dengan Sarekat Islam, dan menjadi Pemimpin
Redaksi Harian Kaoem Moeda. Setahun kemudian, melalui Komite
Bumiputera yang didirikannya bersama Ki Hadjar Dewantara, Abdul Muis menentang rencana
pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan
Belanda dari Perancis.
Tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri
Belanda untuk mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia
juga mendorong tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School
– Institut Teknologi Bandung (ITB) di
Priangan. Pada tahun 1918, Abdul Muis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central
Sarekat Islam.
Selain berpidato ia juga berjuang melalui berbagai media cetak. Dalam
tulisannya di harian berbahasa Belanda De Express, Abdul Muis
mengecam seorang Belanda yang sangat menghina bumiputera.
Pada tahun 1920, dia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan
Buruh Pegadaian. Setahun kemudian ia memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Tahun 1923 ia
mengunjungi Padang, Sumatera Barat. Disana ia
mengundang para penghulu adat untuk bermusyawarah, menentang pajak yang
memberatkan masyarakat Minangkabau. Berkat aksinya tersebut ia dilarang
berpolitik. Selain itu ia juga dikenakan passentelsel, yang
melarangnya tinggal di Sumatera Barat dan keluar
dari Pulau Jawa.
Setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang
fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan
masyarakat Sunda. Tahun 1959 ia wafat dan dimakamkan diTMP Cikutra, Bandung.
Karya
- Salah Asuhan (novel 1928, difilmkan Asrul Sani 1972), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the Twain olehLontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia
- Pertemuan Jodoh (novel 1933)
- Surapati (novel 1950)
- Robert Anak Surapati(novel 1953
No comments:
Post a Comment