Saturday, August 12, 2017

Biografi Tokoh Bahasa Indonesia



Sitor Situmorang

Sitor Situmorang dilahirkan dengan nama Raja Usu dengan marga Situmoran dari Suku Batak Toba. Dia lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1923. Sitor Situmorang dikenal sebagai wartawan, sastrawan, dan penyair Indonesia.
Karir kepenyairannya dikatakan oleh A. Teeuw bersinar setelah meninggalnya Chairil Anwar. Dia memulai kariernya sebagai wartawan harian Suara Nasional dan harian Waspada. Dia juga pernah menjadi pegawai Jawatan Kebudayaan Departemen P & K, dosen Akademi Teater Nasional Indonesia, anggota Dewan Nasional, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mewakili kalangan seniman, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan, dan Ketua Lembaga Kebudayaan nasional. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Sitor pernah dipenjara sebagai tahanan politik di Jakarta mulai tahun 1967-1974.
Karya-karyanya antara lain Surat Kertas Hijau (kumpulan puisi (1954), Jalan Mutiara (drama (1954), Dalam Sajak (kumpulan puisi (1955), Wajah Tak Bernama (kumpulan puisi (1956),Rapar Anak Jalang (1955), Zaman Baru (kumpulan puisi (1962),Pangeran (kumpulan cerpen (1963), Sastra Revolusioner(kumpulan esai (1965), Dinding Waktu (kumpulan puisi (1976),Sitor Situmorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba(otobiografi (1981), Danau Toba (kumpulan cerpen (1981), Angin Danau (kumpulan puisi (1982), Bunga di Atas Batu (kumpulan puisi (1989), Toba na Sae (1993), Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom (sejarah lokal (1993), Rindu Kelana (kumpulan puisi (1994), dan Peta Perjalanan (kumpulan puisi) yang mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976.
Abdul Hadi Wiji Muthari

Prof. Dr. Abdul Hadi Wiji Muthari atau yang lebih dikenal dengan nama Abdul Hadi WM, lahir di Sumenep, 24 Juni 1946 adalah seorang sastrawan budayawan, dan ahli filsafat Indonesia. Dia dikenal karena karya-karyanya yang bercorak sufistik dan penelitan-penetiannya dalam bidan kesusastraan Malyu di Nusantara, serta pandangan-pandangannya tentang Islma dan Pluralisme.
Para pengamat kesenian menyebutnya sebagai pencipta puisi Sufis di era 70-an. Karena karya-karyanya banyak berisi tentang kesepian, kematian, dan waktu. Karena itu, dia sering dibandingkan dengan sahabatnya, yaitu Taufik Ismail, yang juga kerap menulis puisi religi.
Karya-karnya antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luar Prabhang dan Pembawa Matahari, dan lain-lain.


 

Biografi Singkat WS. Rendra

 

Rendra, nama yang sudah tidak asing lagi dikalangan penyair Indonesia masa kini. Namanya memang seakan abadi dalam balutan karya-karyanya yang anti-mainstream kala itu. Sekarang, mari kita sedikit lebih mengenal Rendra dan karya-karyanya melalui biografi singkat yang kami sadur dari buku Mempertimbangkan Tradisi yang merupakan kumpulan opini dari Rendra di media massa.
Rendra, lahir 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah. Pernah kuliah di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (tidak tamat), kemudian memperdalam pengetahuan di American Academy Of Dramatical Arts, AS (1964-67). Sepulang dari Amerika Serikat membentuk Bengkel Teater di Yogyakarta dan sekaligus menjadi pimpinannya. Tahun 1954 ia mengikuti Seminar Sastra di Universitas Harvard, AS, dan tahun 1971 dan 1979 mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda.
Dramanya, Orang-orang di Tikungan Jalan, memperoleh Hadiah Pertama Sayembara Drama Bagian Kesenian Kementerian P dan K Yogyakarta tahun 1954. Tahun 1956 cerpennya mendapat hadiah dari majalah Kisah. Tahun 1957 memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk kumpulan sajaknya, Ballada Orang-orang Tercinta (1957). Tahun 1968 sajak-sajaknya memperoleh hadiah dari majalah Horison,Dan tahun 1976 mendapat Hadiah Pertama dari Yayasan Buku Utama Departemen P dan K untuk bukunya, Tentang Bermain Drama (1976). Tahun 1970 Rendra menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI dan tahun 1975 memperoleh Hadiah Akademi Jakarta.
Karya-karyanya yang lain: Empat Kumpulan Sajak (1961, 1978), Ia Sudah Bertualang (1963), Blue Untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), dan Potret Pembangungan dalam Puisi (1980). Sajak-sajaknya banyak diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Rusia, dan lain-lain. Di samping itu, Rendra juga banyak menerjemahkan drama ke bahasa Indonesia, antara lain karya Sofokles: Oidipus Sang Raja (1976), Oidipus di Kolonus (1976), dan  Antigone (1976).
Nantikan beberapa karya Rendra yang membuatnya namanya tersohor di sastranesia.com.

Abdoel Moeis


BIOGRAFI:
Lahir
Meninggal
17 Juni 1959 (umur 72)Bandung,
Pekerjaan
Kebangsaan
Karyaterkenal
Abdoel Moeis adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia. Dia merupakan pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut. Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI,Soekarno, pada 30 Agustus 1959.
Latar belakang
Abdul Muis adalah seorang Minangkabau, putra Datuk Tumangguang Sutan Sulaiman. Ayahnya merupakan seorang demang yang keras menentang kebijakan Belanda di dataran tinggi Agam. Selesai dari ELS, Abdul Muis melanjutkan pendidikannya ke Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta.
Kehidupan
Abdul Muis memulai kariernya sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst atas bantuan Mr. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan. Namun pengangkatannya itu tidak disukai oleh karyawan Belanda lainnya. Setelah dua setengah tahun bekerja di departemen itu, ia keluar dan menjadi wartawan di Bandung. Pada tahun 1905, ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Kemudian ia sempat menjadi mantri lumbung, dan kembali menjadi wartawan pada surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim.
Pada tahun 1913 ia bergabung dengan Sarekat Islam, dan menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kaoem Moeda. Setahun kemudian, melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama Ki Hadjar Dewantara, Abdul Muis menentang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.
Tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia juga mendorong tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB) di Priangan. Pada tahun 1918, Abdul Muis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central Sarekat Islam.
Selain berpidato ia juga berjuang melalui berbagai media cetak. Dalam tulisannya di harian berbahasa Belanda De Express, Abdul Muis mengecam seorang Belanda yang sangat menghina bumiputera.
Pada tahun 1920, dia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian. Setahun kemudian ia memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Tahun 1923 ia mengunjungi PadangSumatera Barat. Disana ia mengundang para penghulu adat untuk bermusyawarah, menentang pajak yang memberatkan masyarakat Minangkabau. Berkat aksinya tersebut ia dilarang berpolitik. Selain itu ia juga dikenakan passentelsel, yang melarangnya tinggal di Sumatera Barat dan keluar dari Pulau Jawa.
Setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda. Tahun 1959 ia wafat dan dimakamkan diTMP Cikutra, Bandung.
Karya

No comments:

Post a Comment