Hans Bague Jassin lahir pada tanggal 13 juli 1917 di Gorontalo. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di HIS Balikpapan. Beberapa waktu kemudian, keluarganya pindah ke Pangkalan Brandan. Di kota kecil ini, Jassin melanjutkan pendidikan dengan bersekolah di HBS Pangkalan Brandan. Setamat HBS, Jassin bekerja secara sukarela di kantor Asisten Residen Gorontalo. Pada tahun 1940, Jassin menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja sebagai redaktur di Badan Penerbitan Balai Pustaka.
Tanpa
disangka, pekerjaan tersebut memberikan kesempatan yang luas kepada Jassin
untuk mengembangkan kemampuannya sebagai seorang kritikus. Sejumlah tulisan
karya jassin dimuat di beberapa majalah, seperti Panji Pustaka, pantja
Raja, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, dan Sastra. Jassin pun dikenal
sebagai kritikus andal. Sehubungan dengan hal itu, Jassin kemudian diminta
untuk mengajar di Universitas Indonesia, tempat ia memperoleh gelar sarjana
(1957) dan doctor honoris causa (1975). H.B. Jassin meninggal dunia pada
tanggal 11 Maret 2000 di Jakarta.
B. Riwayat Kepengarangan
Dalam khasanah
kesastraan Indonesia, nama H.B Jassin dikenal sebagai kritikus melalui
serangkaian karya bunga rampainya, seperti Gema Tanah Air (1948), Kesusastraan
Indonesia di Masa Jepang (1948), Pujangga Baru: Prosa dan
Puisi (1963), danAngkatan 66: Prosa dan Puisi (1968). Pada
kemudian hari keberadaan karya antologi tersebut membuat H.B Jassin lebih
dikenal sebagai seorang kritikus dan mengkonstruksi perkembangan kesastraan
Indonesia modern bedasarkan situasi politik yang melatarbelakanginya.
Berdasarkan
kerangka tersebut, Jassin membagi perkembangan kesastraan Indonesia modern
menjadi empat golongan besar, yakni Angkatan ’20 (Balai Pustaka), Angkatan ’33
(Pujangga Baru), Angkatan ’45, dan Angkatan ’66. Pembagian ini dianggap sebagai
pembagian yang konvensional. Pada kemudian hari pembagian tersebut memberikan
keleluasaan bagi Jassin untuk mendokumentasi seluruh karya sastra para
sastrawan Indonesia tanpa mengenal batasan ideologi ataupun warna estetik yang
dianut setiap sastrawan. Sehubungan dengan hal tersebut, H.B Jassin kemudian
diberi gelar Paus Sastra Indonesia oleh Gajus Siagian.
Sebagai
seorang kritikus yang terjun langsung dalam perkembangan kesatraan tanah air
yang bersifat bipolar, Jassin pernah terlibat dalam serangkaian polemik. Pada
masa pemerintahan orde lama, Jassin terpaksa harus kehilangan jabatannya di
Lembaga Bahasa Nasional dan Universitas Indonesia. Hal tersebut terjadi karena
keterlibatannya dalam penandatanganan Manifes Kebudayaan. Pada tahun 1971,
Jassin merasakan hidup dalam penjara selama satu tahun, dengan masa percobaan
selama dua tahun, akibat sebuah cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” karya Ki
Panjikusmin, yang dimuat dalam majalah sastra asuhannya.
Meskipun
bentuk kritik Jassin dianggap terlalu konvensional sehingga menuai banyak
hujatan, keberadaan H.B. Jassin dalam perkembangan kesatraan tanah air tidak
bisa di hilangkan. H.B. Jassin merupakan orang pertama yang melakukan usaha
dokumentasi karya satra Indonesia. Ia telah mengumpulkan sekitar 30.000 buku
dan majalah sastra. Atas jasanya tersebut, masyarakat Indonesia dapat
mengetahui perkembangan sastra Indonesia sehingga tidak kehilangan sejarahnya.
Selain itu, melalui tangan H.B. Jassin pula masyarakat Indonesia dapat
menikmati belasan judul buku satra. Buku sastra tersebut dapat dijadikan acuan
dalam mempelajari dan mengembangkan sastra tanah air. Berikut ini sejumlah buku
karya H.B. Jassin.
1. Tifa Penyair
dan Daerahnya (1952)
2. Kesusasteraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay I-IV (1954)
3. Omong-Omong
H.B. Jassin (catatan perjalanan ke Amerika 1958-1959)
4. Heboh Sastra 1968
(1970)
5. Sastra
Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983)
6. Pengarang
Indonesia dan Dunianya (1983)
7. Sastra
Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993)
8. Koran dan
Sastra Indonesia (1994)
No comments:
Post a Comment